Sense of Belonging

Sense of Belonging

Sense of Belonging

Kemarin malam, aku berkesempatan bertemu dengan Ustad Shofwan Badrie di sela-sela petualanganku di Kuala Lumpur. Seorang Ulama Internasional yang terpadang di dunia.

9 tahun telah berlalu, sejak pertama kali aku bertemu beliau saat beliau dengan rombongannya tengah berkunjung ke Sekolah Alam Medan Raya sekitar pertengahan tahun 2010.

Beliau bagiku adalah sosok yang sangat luar biasa. Tahun 2017 ketika aku menjadi delegasi Indonesia ke Amerika, beliau salah satu tokoh yang turut mendukung dan membantuku untuk berangkat ke sana. Ketika beliau tahu itu menjadi langkah awalku untuk menghasilkan karya dan terus melakukan gerakan kebaikan, beliau begitu bangga dan bahagia. 😇

Menjalin silaturahmi memang tak pernah membosankan. Melaui kegiatan bermanfaat ini, aku dengan pengalamanku yang masih ‘kacangan’ bisa mendapatkan kesempatan mendengar cerita Ustad Shofwan yang hampir setiap tahun berkeliling dunia untuk mengirim bantuan dan berdakwah.

Salah satu cerita beliau yang paling membuatku tergelitik untuk menuliskannya, adalah ketila beliau berkunjung ke Tanzania, Afrika Timur. Salah satu negara termiskin di Afrika.

Membayangkan bagaimana negara miskin saja, sudah membuatku miris. Namun, siiapa yang mengira di balik kemiskinan itu warga Tanzania punya budaya anti rokok yang kuat. Sekali saja terlihat ada orang merokok di sana, penjara sudah menanti.

Kendati bukan negara muslim, wanita-wanita di Tanzania selalu memakai kain khusus mirip kerudung yang menutupi seluruh rambut mereka, dan ternyata itu juga wajib dikenakan oleh wisatawan jika ingin menetap di sana.

Soal kebersihan jangan salah, walaupun negara miskin, kebiasaan ‘bersih’ mereka tak kalah dari orang-orang Jepang. Ustad Shofwan menunjukkan salah satu jepretannya kepada kami demi membuktikannya. Ternyata di Tanzania ada sebuah Masjid yang walaupun berdinding tanah, dengan toilet yang sangat sederhana, kebersihannya sangat dijaga.

Jika Jepang adalah negara maju dan berteknologi tinggi, di Tanzania rumah-rumah warga, bahkan Sekolah Umum hanya beralaskan tembikar tipis. Lantas, apa yang membuat mereka punya budaya dan kebiasaan baik tersebut?

Ustad Shofwan bilang hanya satu alasannya, “Sense of belonging,” rasa memiliki.

Ketika punya ‘perasaan memiliki’ yang kuat akan suatu hal, tentu kita akan menjaganya dengan tulus dari hati.

Tak peduli semiskin apapun mereka, warga lokal di Tanzania begitu mencintai budaya dan kebiasaan mereka, sehingga mereka melindunginya, dan senantiasa mengajak orang lain untuk ikut melakukannya.

Rasa memiliki itu juga menumbuhkan rasa bangga. Jika kita merasa agama dan negara kita adalah milik kita, tentu kita akan menjaganya dengan sungguh-sungguh, bukan? Itulah kekuatan dari “Sense of belonging” yang tentu awal dari perasaan dan langkah kebaikan lainnya.

Aku rasa “Sense of belonging” harus tertanam dari dalam diri kita anak-anak muda hari ini.

Kita bisa mulai dari bertanggung jawab akan hal-hal kecil seperti kamar dan rumah kita, hingga nantinya kita akan mampu bertanggung jawab terhadap lingkup yang lebih besar layaknya Kota ataupun kampung halaman kita.

Insya Allah, kita bisa!
Semangat calon pemimpin masa depan!

Kuala Lumpur, Malaysia

Salam Anak Muda Hebat Indonesia

Leave a Reply

Close Menu